Senin, 15 Oktober 2012

tokoh PKI



Berikut isi dan susunan lengkap Supersemar yang beredar di internet itu.
Presiden Republik Indonesia
SURAT PERINTAH
I. Mengingat :
1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini , serta keadaan politik Nasional maupun Internasional.
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.
II. Menimbang :
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI, dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta adjaran-adjarannja.
III. Memutuskan/Memerintahkan :
Kepada : LETNAN DJENDRAL SUHARTO MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk : Atas Nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi :
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan, serta kestabilan djalannja pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966.
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMBIN BESAR
REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
(Tandatangan Soekarno, red)
Sukarno



Tokoh PKI Hasan Raid : “G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI”
Posted September 11, 2011
Filed under: esai, Sejarah |

Tokoh PKI Hasan Raid : “G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI”

Berikut adalah tulisan tokoh PKI Hasan Raid alm (dengan nama samaran
Sulangkang Suwalu) yang berjudul « G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI », dan
disiarkan di berbagai mailing-list
Tulisan ini iambil dari apakabar@access.digex.net , 8 Agustus 1998
G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI
« Sudah hampir 2 bulan Soeharto dipaksa berhenti sebagai presiden oleh
kekuatan mahasiswa dan rakyat. Dengan demikian gagallah rencananya untuk
terus menjadi Presiden sampai dengan 2003. Sementara itu 21/2 bulan lagi
adalah hari genapnya 33 tahun meletusnya G30S.

Ki Oetomo Darmadi (Swadesi, No 1541/Th XXX/Juli 1998) mengemukakan, “Sudah
33 tahun tragedi nasional, apa yang disebut G30S menjadi ganjalan sejarah.
Sudah seyogianya di era reformasi sekarang misteri tersebut disingkap secara
transparan, jujur terbuka”.

“Mengapa, ini penting sebagai pelajaran sejarah, betapa dahsyatnya
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Antara lain bangsa ini terbelah
menjadi dua: Orde Lama dan Orde Baru, dengan implikasi luas pada sektor
kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Terlebih-lebih
jika ditilik dari hak dasar azasi manusia (HAM) hampir seluruh Deklarasi HAM
PBB (10 Des 1948) dilanggar. Pancasila hanya dijadikan lips-service, dan
hampir semua hak warga sipil yang termaktub dalam batang tubuh UUD 45
dinodai. Terlalu banyak lembar catatan keganasan rezim Soeharto selama 32
tahun berkuasa, sehingga ada yang menjuluki ‘drakula’, pembunuh berdarah
dingin den sebagainya. Tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai
pelanggar HAM terberat, sebab korban penubunuhan massal peristiwa G.30-S/PKI
1965 saja melampaui korban Perang Dunia II.”

Sesungguhnya sudah lama dituntut supaya misteri G30S yang sesungguhnya
diungkap secara terbuka, jujur dan adil. Hanya saja tuntutan semacam itu di
masa Soeharto berkuasa suatu yang mustahil bisa dilaksanakan. Sebab dengan
membuka misterinya, akan terbuka lah bahwa G3OS yang sesungguhnya ialah
G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI. Mari kita telusuri!

HUBUNGAN SOEHARTO DENGAN G30S

Hubungan Soeharto, terutama dengan Kolonel Latief, seorang tokoh G3OS,
begitu akrab dan mesranya. Lepas dari persoalan apakah hubungan yang erat
itu karena Soeharto yang menjadi bagian atau pimpinan G30S yang tersembunyi,
atau karena kelihaian Soeharto memanfaatkan tokoh-tokoh G30S untuk mencapai
tujuannya menjadi orang pertama di Indonesia.

Hubungannya itu dapat diketahui, ketika pada 28 September 1965, Kolonel
Latief bersama isterinya berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto di jalan H.
Agus Salim. Menurut Kolonel Latief (Kolonel Latief: “Pembelaan sidang
Mahmilti II Jawa Bagian Barat” 1978) maksud kunjungannya ialah guna
menanyakan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau.

“Oleh beliau justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari sebelum saya
datang, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta, bernama
Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal AD yang akan
mengadakan coup d’etat terhadap kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno.
Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan”.

Seterusnya Kolonel Latief mengemukakan bahwa 30 September 1965 (malam), ia
berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Jenderal Soeharto, yang sedang menunggui
putranya yang tersiram sup panas. Sambil menjenguk putrandanya itu, juga
untuk melaporkan bahwa dini hari l Oktober l965 G30S akan melancarkan
operasinya guna menggagalkan rencana kudeta yang hendak dijalankan Dewan
Jenderal. Kunjungannya ke Jenderal Soeharto di RSPAD tersebut, adalah
merupakan hasil kesepakatan dengan Kolonel Untung dan Brigjen Supardjo.

Seperti diketahui menurut Brigjen Supardjo (Tempo, 1 Oktober 1988) tanggal
16 September 1965 telah terbentuk gerakan tsb, di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Untung. Kolonel Latief semula berkeberatan Letkol Untung menjadi
pimpinannya dan meminta supaya gerakan dipimpin seorang jenderal. Tetapi
karena Kamaruzzaman (Syam) memtahankan supaya tetap Untung, karena ia
pengawal presiden, maka akhirnya Letnan Kolonel Untung yang memimpinnya.

Kamaruzzaman ini menurut Wertheim (Wertheim: “Sejarah tahun 1965 yang
tersembunyi” dalam Suplemen Arah, No 1 th 1990) adalah “seorang double
agent”. Yang dimaksud “double agent” Wertheim ialah agennya Aidit (dalam
Biro Khusus) dan agen Soeharto (yang diuntungkan oleh Peristiwa G30S).

Sesungguhnya G30S tak akan bisa melancarkan operasi militernya dini hari
lOktober 1965 itu, sekiranya Jenderal Soeharto mencegahnya dan bukan
membiarkannya. Tampaknya karena Soeharto berkepentingan agar Men/Pangad A.
Yani terbunuh, maka dengan diam-diam direstuinya operasi militer G30S yang
hendak dilancarkan itu. Jika Soeharto tidak berkepentingan terbunuhnya
A.Yani, tentu rencana operasi G30S itu akan dicegahnya, atau langsung saja
Kolonel Latief ditangkapnya, atau rencana G30S itu dilaporkannya kepada
atasannya, misalnya kepada Jenderal Nasution. Dengan demikian operasi G30S
itu gagal.

Bagi Kolonel Latief dengan tidak ada pencegahan dari Jenderal Soeharto,
berarti Jenderal Soeharto merestuinya dan operasi G30S dini hari l Oktober
dilaksanakannya.

Soeharto merestui operasi G30S itu secara diam-diam, karena ia mengetahui
ada sebuah konsensus dalam TNI-AD bahwa bila Pangad berhalangan, otomatis
Panglima Kostrad yang menjadi penggantinya. Dan Panglima Kostrad ketika itu
adalah dirinya sendiri.

MALING BERTERIAK MALING

Paginya (pukul 6.30), dengan dalih ia mendapat informasi dari tetangganya,
Mashuri, bahwa Jendral A. Yani dan beberapa jenderal lain telah terbunuh,
Soeharto dengan Toyotanya, sendirian (tanpa pengawal) berangkat ke Kostrad.
Melalui Kebun Sirih, Merdeka Selatan. Soeharto sudah tahu benar siapa
sasaran G30S.

Sejalan dengan laporan yang disampaikan Kolonel Latief kepada Jenderal
Soeharto di RSPAD malam itu, maka daerah, dimana markas Kostrad terletak,
tidak diawasi atau dijaga pasukan G30S. Yang dijaga hanya daerah lain saja
di Merdeka Selatan. Ini menjadi indikasi adanya saling pengertian antara
G30S dengan Panglima Kostrad. Jika tidak ada saling pengertian, tentu daerah
di mana Markas Kostrad berada juga akan dijaga pasukan G30S.

Menurut Yoga Sugama (Yoga Sugama: “Memori Jenderal Yoga” [hal: 148-153])
pada pagi 1 Oktober 1965 itu, dirinyalah yang pertama tiba di Kostrad.
Kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang melancarkan gerakan
penculikan dini hari tersebut, adalah anasir-anasir PKI. Ali Murtopo tidak
begitu saja mau menerima keterangan Yoga Sugama tersebut.

Setelah ada siaran RRI pukul 7.20, yang mengatakan telah terbentuk Dewan
Revolusi yang diketuai Kolonel Untung, maka Yoga Sugama memperkuat
kesimpulannya di atas. Sebab Yoga Sugama kenal Untung sebagai salah seorang
perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah menjadi anak buahnya
ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera Barat.

Jenderal Soeharto juga bertanya kepada Yoga Sugama, “Apa kira-kira Presiden
Soekarno terlibat dalam gerakan ini.” Yoga Sugama dengan tegas menjawab
“Ya”. Tuduhan Yoga Sugama bahwa dibelakang gerakan itu adalah anasir-anasir
PKI dan Presiden Soekarno terlibat, tentu saja sangat membesarkan hati
Soeharto. Karena dengan demikian rencananya untuk menghancurkan PKI dan
menggulingkan Presiden Soekarno mendapat dukungan dari bawahannya.

Pada pukul jam 9.00 pagi itu Jenderal Soeharto (Tempo, 1 Oktober 1998)
memberikan briefing. Dengan tegas ia mengatakan: “Saya banyak mengenal
Untung sejak dulu. Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh
PKI Pak Alimin”. Ini tentu bualan Soeharto saja. Sebab Pak Alimin baru
kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1946. Bagaimana ia mendidik Untung
sejak tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih berada di daratan
Tiongkok.

Tidak lah kebetulan Kamaruzzaman mempertahankan Kolonel Untung menjadi
pimpinan G30S. Sudah diperhitungkannya, bahwa suatu ketika nama Untung tsb
akan dapat digunakan sebagai senjata oleh Soeharto untuk menghancurkan PKI.

Kamaruzzaman memang seorang misterius. Secara formal dia adalah orangnya
Aidit (dalam BC). Sedang sesungguhnya dia adalah di pihak lawannya Aidit,
dia bertugas menghancurkan PKI dari dalam.

Untuk itu lah maka Kamaruzzaman, seperti dikatakan Manai Sophian (Manai
Sophiaan (“Kehormatan bagi yang berhak”) membuat ketentuan bahwa persoalan
yang akan disampaikan kepada Aidit, harus melalui dirinya. Banyak hal yang
penting yang tak disampaikannya pada Aidit. Akibatnya setelah gerakan
dimulai terjadilah kesimpangsiuran, penyimpangan yang merugikan Aidit/PKI.

Sesuai dengan rencananya, maka Soeharto (G.30-S pemberontakan PKI”, Sekneg,
1994, hal 146, 47) pada 1 Oktober tersebut tanpa sepengetahuan, apalagi
seizin Presiden/Pangti Soekarno mengangkat dirinya menjadi pimpinan TNI-AD.
Padahal jabatan Panglima suatu angkatan, adalah jabatan politik. Itu
merupakan hak prerogatif Presiden untuk menentukan siapa orangnya.

Dikesampingkannya hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI tersebut, diakui
Soeharto dalam 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno yang harus disampaikan
oleh Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang berkunjung ke Kostrad 1 Oktober
1965 itu. Kedatangan Bambang Widjanarko adalah untuk memanggil Jenderal
Pranoto Reksosamudro yang telah diangkat menjadi caretaker Menpangad
sementara oleh Presiden, untuk datang ke Halim menemui Presiden Soekarno.

Usaha Bambang Widjanarko untuk meminta Jenderal Pranoto Reksosamudro ke
Halim itu dihalangi Soeharto. Empat petunjuk tersebut ialah:

1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro dan Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah tidak
dapat menghadap Presiden Soekarno untuk tidak menambah korban. (Ini berarti
Soeharto menuduh Presiden Soekarno lah yang bertanggungjawab atas penculikan
sejumlah jenderal dini hari 1 Oktober tersebut. Sesuai dengan jawaban Yoga
Sugama kepadanya tentang keterlibatan Presiden Soekarno dalam G30S. Karena
Ketua Dewan Revolusi adalah Kolonel Untung, pasukan pengawal Presiden
Soekarno)

2. Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper pimpinan TNI-AD
berdasarkan perintah Tetap Men/Pangad. (Ini berarti perintah tetap
Men/Pangad, maksudnya konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi dari hak
prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang harus memangku jabatan
panglima suatu angkatan).

3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya
disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto. (Ini berarti Mayien TNI Soeharto
yang mengatur Presiden Soekarno untuk berbuat ini atau itu, meski pun
dibungkus dengan kata-kata “diharapkan”. Semestinya Presiden yang mengatur
Mayjen Soeharto, bukan sebaliknya. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI).

4. Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang
Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari Pangkalan
Udara Halim Perdanakusumah, karena pasukan yang berada di bawah komando
Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G3OS yang berada di
Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah sebelum tengah malam 1 Oktober 1965.
(Ini berarti Soeharto “memerintahkan” Soekarno meninggalkan Pangkalan Udara
HPK, karena Halim akan diserbu. Padahal sebelumnya Presiden Soekarno telah
memerintahkan kepada Brigjen Supardjo supaya menghentikan operasi militer
G30S dan jangan bergerak tanpa perintahnya. Tampaknya perintah lisan
Presiden/Pangti Soekarno demikian, dianggap tidak berlaku bagi dirinya.
Malahan situasi itu digunakannya untuk “memukul” pasukan G30S.

Empat petunjuk Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno melalui Kolonel KKO
Bambang Widjanarko menunjukkan: dengan menggunakan G30S, Jenderal Soeharto
mulai l Oktober 1965 secara de facto menjadi penguasa di Indonesia. Sebagai
langkah awal untuk memegang kekuasaan de jure di Indonesia nantinya. Ya,
maling berteriak maling. Dirinya yang kudeta, PKI yang dituduhnya melakukan
pemberontakan.

PEMBANTAIAN MASSAL

Sesudah kekuasaan secara de facto berada di tangannya, hunting (perburuan)
terhadap anggota dan simpatisan PKI dilancarkannya sejadi-jadinya. Menurut
MR Siregar (MR Siregar: “Tragedi Manusia dan Kemanusiaan”, Amsterdam 1993,
hal: 214-217) betapa ganasnya perburuan untuk meruntuhkan moral orang-orang
komunis sehingga tak berani melakukan perlawanan. Istilah hunting
(perburuan) ini digunakan Sumitro dalam wawancaranya dengan BBC.

Sekadar ilustrasi dari hunting Sumitro dapat dikemukakan, di antaranya:

Di Jakarta: Sekawan progrom menjerang air dalam drum. Ketika air sudah
menggelegak, seorang yang mereka “amankan”, kalau tidak lupa dari IPPI,
dengan posisi kepala ke bawah dan kaki ke atas, dicelupkan ke dalamnya.
Adegan mengerikan dan memilukan yang tak dapat disaksikan mata manusia biasa
menggelitik pembunuh-pembunuh berdarah dingin itu.

Di Jawa Tengah: HJ Princen mengatakan dia yakin sekitar 800 orang telah
dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala, tapi bahwa jumlah tsb
mungkin lebih tinggi. Selain daripada itu pasukan di bawah pimpinan Sarwo
Edhie pergi dari desa ke desa, membawa pergi korban-korban mereka dengan
truk-truk untuk dibunuh. Banyak dari mereka diwajibkan menggali kuburannya
sendiri.

Di Jawa Timur: Banser, sayap militer dari ANSOR menjelajahi desa-desa.
Mengambil orang-orang komunis. Mereka membawa korban-korban mereka ke desa
berpenduduk padat dan membunuhnya. Beberapa diantaranya ditanam dalam
kuburan yang dangkal, yang digali sendiri oleh para korban, dan
jenazah-jenazah lain dilemparkan ke dalam sungai atau sumur-sumur. Tumpukan
mayat terhampar pada pesisir sungai, dan sejumlah sungai sampai tersumbat
oleh apungan mayat-mayat.

Di Kupang: Seorang pemimpin PKI dikeroyok kawanan progrom. Setelah lemah
dihajar, kedua belah tangannya diikat dengan seutas tali panjang. Ujung lain
dari tali itu diikatkan pada sebuah jeep tentara. Jeep ini kemudian meluncur
ketengah-tengah kota, menyeret sang korban yang terbanting-banting sepanjang
route yang dilalui. Sang korban memekik-mekik dan mengerang bukan
kepalang.Jalan-jalan yang dilalui berbelang ceceran darah sang korban. Muka
dan tubuhnya terkelupas.

Di Sulawesi Utara: Sejumlah tangkapan kader PKI dihajar habis-habisan.
Dengan tangan terikat dibawa berlayar ke lepas pantai. Sesampai di geladak,
setiap kaki mereka digantungi batu-batu besar. Kemudian jangkar diangkat dan
kapal pun segera melaju ke lepas pantai. Pesta pesiar maut ini dimulai
dengan membuang hidup-hidup para korban seorang demi seorang ke laut.

Menurut Sarwo Edhie (MIK: “50 tahun Merdeka & Problema Tapol/Napol”, 1995,
hal 59), seperti yang dikemukakannya kepada Permadi SH dan oleh Permadi SH
disampaikannya dalam Seminar Sehari 28 Januari 1995 di LBH Jakarta, bahwa
jumlah yang dibunuh dalam peristiwa G30S itu bukan 1,5 juta orang, melainkan
3 juta orang. Sebagian besar atas perintahnya.

Mengenai pembantaian terhadap massa anggota dan simpatisan PKI ini, menurut
Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, 1994, hal
311) korban penumpasan sangat besar. Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU ketika
diwawancarai oleh “Editor”, mengaku bahwa orang Islam membantai 500.000 eks
PKI. Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh orang-orang yang tidak masuk
orang Islam. Maka angka 1 juta, seperti yang diumumkan oleh Amnesti
Internasional, bisa dimengerti.

Sedang Dawam Rahardjo (Masalah Tapol & Napol dari Perspektif Konstitusi,
1994, hal 58-59) mengemukakan dalam Seminar di LBH bahwa dalam film “Riding
a Tiger” diceritakan mengenai keterangan seorang yang sangat lugu sekali,
bagaimana membunuh orang-orang PKI secara sangat teratur dan sopan, pokoknya
diatur dengan baik, sehingga tidak menimbulkan gejolak-gejolak dsb. Padahal
bagi orang lain, itu merupakan suatu pertunjukkan yang mengerikan sekali.
Demikian jugalah dengan bagaimana tahun 1965 telah terjadi pembunuhan bangsa
kita oleh bangsa kita sendiri, termasuk oleh orang Islam dimana bila
mengingat itu semua, timbul rasa ngeri bercampur malu, rasa berdosa yang
besar.

Dawam Rahardjo juga mengemukakan bahwa tapol mulia karena mereka adalah
orang-orang yang berpendirian. Sebenarnya pemrasaran takut mengatakan hal
ini, tapi kalau konsekuen kita sebenarnya harus menghargai orang-orang PKI
juga, sebab orang-orang PKI juga mempunyai cita-cita luhur. Mereka bukan
orang kriminal.

G30S BUKAN PEMBERONTAKAN PKI

Permadi SH (50 tahun Merdeka & Problema Tapol/Napol, 1995, hal 59) dalam
Seminar Sehari di YLBHI pada 28 Januari 1995 mengemukakan “Saya kesulitan
menjawab pertanyaan anak-anak muda sekarang. Kalau memang PKI itu berontak,
berontak terhadap siapa? Sebab pemerintah waktu itu yang dipimpin Bung Karno
menguntungkan posisi mereka. Kemudian berapa orang yang dibunuh PKI?

Benarkah PKI punya bedil dan membunuh orang-orang lain, kecuali yang 7
jenderal dan beberapa kolonel dan lain sebagainya dan itu pun masih
dipertanyakan: apakah PKI atau tentara sendiri yang membunuhnya.

Menurut Oei Tjoe Tat (Oei Tjoe Tat: “Memoar Oei Tjo Tat”, hal 171) yang
jelas Presiden Soekarno tidak merasa diberontaki PKI. Kalau G30S itu
pemberontakan PKI, berarti PKI berontak pada pemerintah Soekarno 1 Okt 1965.
Bila demikian, mengapa Nyoto (orang ketiga dalam PKI) tidak ditangkap
Soekarno ketika hadir dalam sidang Kabinet 6 Okt 1965? Malah ketika sidang
Kabinet 6 Oktober tsb, kebetulan saya berdekatan duduk dengan Nyoto, oleh
Bung Karno disilakannya untuk ngomong-ngomong.

Juga dalam pidato Presiden Soekarno (Dalam buku “Memenuhi Panggilan Tugas”,
jilid 7, hal 172-173) tanggal 21 Desember 1965 mengatakan: Gestok (Gerakan 1
Oktober -pen) harus kita hantam, tetapi komunisme tidak bisa, karena ajaran
komunis itu adalah hasil keadaan objektif dalam masyarakat Indonesia,
seperti halnya nasionalis dan agama. Nasakom telah kutulis sejak aku berumur
25 tahun dalam tahun 1926, dan ini akan kupegang teguh sampai aku masuk
liang kubur.

Menurut Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, hal
312) sesudah Brigjen Supardjo (dari G30S) melaporkan apa yang terjadi dini
hari 1 Oktober pada Presiden Soekarno di Halim, Presiden Soekarno
memerintahkan Brigjen Supardjo untuk menghentikan semua operasi militer
G30S. Perintah itu diberikan, pada saat G30S secara militer dalam posisi
memegang inisiatif. Ini terjadi di Halim 1 Okt 1965. Perintah lisan Presiden
Soekarno itu ditaati, operasi militer berhenti seketika. Senjata yang berada
di tangan para militer, yang berkekuatan dua batalyon, diperintahkan oleh
AURI supaya dikembalikan ke dalam gudang.

Seorang saksi mata yang berada di Halim 1 Okt 1965 itu mengatakan bahwa DN
Aidit yang juga berada di Halim ketika mendengar perintah supaya operasi
militer dihentikan, memberi reaksi marah.

Melapornya Brigjen Supardjo kepada Presiden Soekarno dan bukan kepada Aidit,
menjadi bukti yang hidup bahwa G3OS bukan pemberontakan PKI dan bukan PKI
yang menjadi dalagnya. Kalau PKI yang berontak atau menjadi dalangnya, tentu
Brigjen Supardjo melapornya kepada Aidit dan bukan kepada Presiden Soekarno.
Padahal Brigjen Supardjo dengan tidak memperdulikan bagaimana reaksi Aidit
terhadap perintah lisan Presiden Soekarno untuk menghentikan operasi
militer. Perintah itu ditaati sepenuhnya.

Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, hal: 151)
melalui bukunya juga mengatakan bahwa Sunardi SH pada tanggal 10 Des 1981
telah mengirim surat kepada 500 alamat pejabat tinggi, termasuk Presiden
Soeharto. Isinya menuduh Presiden Soeharto terlibat G30S. Sunardi SE
ditangkap dan diadili. Dinyatakan sebagai pengkhianat. Oleh Pengadilan
Negeri 7 Oktober 1982 dituntut hukuman 4 tahun 6 bulan, potong masa tahanan.

Di dalam pidato pembelaannya, Sunardi SH mengatakan bahwa coup d’etat G.30-S
1965 yang dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik, sesuai dengan
rencana lebih dulu, telah diatur dan diperhitungkan dengan cermat, yaitu
menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno sebagai pemegang pemerintahan yang
sah.

Jelasnya, menurut Sunardi SH bahwa G30S adalah kudeta Soeharto, bukan
pemberontakan PKI. Jika G30S pemberontakan PKI tentu Sunardi SH tidak akan
mengatakan G.30-S berhasil. Karena kenyataannya bersamaan dengan
tergulingnya Presiden Soekarno dari kekuasaannya, PKI pun turut hancur.

Sedang Oei Tjoe Tat (Memoar Oei Tjoe Tat, hal 170) mengatakan: menurut
pengamatan saya sejak 1 dan 2 Oktober 1965 kekuasaan de facto sudah terlepas
dari tangan Presiden Soekarno selaku penguasa RI. Memang padanya masih ada
corong mikrofon, tetapi inisiatif dan kontrol jalannya situasi sudah hilang.
Yang ada hanya tinggal sedikit kekuasaan atas piranti dan sarana untuk
mewujudkan kehendak politiknya. Dengan kata lain, pada 1 Oktober 1965
berakhirlah sesungguhnya rezim Soekarno.

Sementara itu Ny Dewi Soekarno (Vrij Nederland tanggal 16 April 1970)
melalui Surat terbuka yang ditujukannya kepada Jenderal Soeharto antara lain
mengatakan: Tuan telah meyakinkan orang banyak (memfitnah) dengan
melancarkan berita bahwa G.30-S dilakukan oleh PKI. Hal itu jelas tidak
benar. Bukankah yang melakukan gerakan itu orang-orang militer. Jelas bahwa
peristiwa G.30-S adalah akibat pertentangan yang ada di kalangan ABRI
sendiri.

Dalam pada itu Soeharto pada Minggu 23 Januari 1994 menerima rombongan
peserta pembekalan back to basic TNI AL di Tapos Bogor. Di tengah
perbincangan yang santai dan penuh keakraban sepanjang satu setengah jam
itulah Pak Harto, kata Tabloid Detik mengungkapkan: Saya menerima sebuah
buku berjudul “Prima Dosa”. Isinya menggugat pemerintahan sekarang dan
menggugat saya, bahwa yang menciptakan G30S itu saya. Mereka memutar balikan
fakta.

Sementara pengamat luar negeri tentang G30S ini menyimpulkan beberapa hal.
Peter Dale Scott, profesor ahli bahasa Inggeris dari University of
California, Berkeley, AS, menerbitkan tulisan yang berjudul: “The
UnitedStates and the Overthrow of Soekarno 1965-1967″ (AS dan penggulingan
Soekarno). Karyanya itu dimuat dalam Pacific Affairs pada tahun 1984, isinya
menguraikan peranan CIA dalam menggerakkan TNI-AD, terutama oleh SESKOAD. Ia
menyimpulkan: G30S kudeta yang dilakukan Soeharto.

Sedang ACA Dake, dalam bukunya setebal 480 halaman, yang berjudul “In Spirit
of the Red Banteng” yang diterbitkan pada 1974 di Den Haag, mengemukakan
bahwa ia berhasil mendapatkan copy dari pemeriksaan Kolonel Widjanarko yang
mengungkapkan bahwa Bung Karno telah memutuskan pengamanan para jendral yang
tidak loyal pada satu rapat rahasia di Bali dalam bulan Juni 1965 dan
merundingkan dengan Untung pada Agustus 1965. Pada 23 September 1965
Komandan Cakrabirawa JenderaL Sabur diperintahkan “untuk secepat mungkin
mengambil tindakan terhadap para jenderal yang tidak loyal.”

Wertheim dalam tulisannya yang berjudul “Soeharto and the Untung Coup the
Missing Link (1970)” menyimpulkan bahwa AD yang melakukan kudeta. Ia
meragukan keterlibatan komunis, karena di saat itu PKI sudah berada diambang
puncak kekuasaan. Jadi buat apa susah-susah lagi merebut kekuasaan.

Menurut Cornell Papers, persoalan G30S adalah persoalan intern AD. Jadi
bukan PKI yang mendalangi peristiwa itu. Namun pada saat-saat terakhir ada
usaha memancing supaya PKI terlibat. Kalau toh PKI terlibat, keterlibatannya
hanya insidentil.

Dan menarik apa yang dikatakan Leo Suryadinata (Golkar dan Militer, hal
19-20) bahwa “jika PKI menjadi dalang kudeta, ia adalah dalang yang sama
sekali tidak siap”. Artinya, PKI memang tidak menyiapkan G30S.

KESIMPULAN

Sudah tiba waktunya untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah
sebagai salah. Sejarah G30S yang selama 32 tahun ini diputarbalikkan oleh
kekuasaan Soeharto, harus ditempatkan pada tempat yang sebenarnya. Yaitu
G30S adalah G30S/Soeharto dan bukan G30S/PKI.

Menurut AM Hanafi (AM Hanafi Menggugat, 1998, hal 262) bahwa “G30S
menggunakan Soekarno dan Soeharto menggunakan G30S”. Jadi, “G30S/Soeharto”.


tokoh PKI



Berikut isi dan susunan lengkap Supersemar yang beredar di internet itu.
Presiden Republik Indonesia
SURAT PERINTAH
I. Mengingat :
1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini , serta keadaan politik Nasional maupun Internasional.
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.
II. Menimbang :
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI, dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta adjaran-adjarannja.
III. Memutuskan/Memerintahkan :
Kepada : LETNAN DJENDRAL SUHARTO MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk : Atas Nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi :
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan, serta kestabilan djalannja pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966.
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMBIN BESAR
REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
(Tandatangan Soekarno, red)
Sukarno



Tokoh PKI Hasan Raid : “G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI”
Posted September 11, 2011
Filed under: esai, Sejarah |

Tokoh PKI Hasan Raid : “G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI”

Berikut adalah tulisan tokoh PKI Hasan Raid alm (dengan nama samaran
Sulangkang Suwalu) yang berjudul « G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI », dan
disiarkan di berbagai mailing-list
Tulisan ini iambil dari apakabar@access.digex.net , 8 Agustus 1998
G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI
« Sudah hampir 2 bulan Soeharto dipaksa berhenti sebagai presiden oleh
kekuatan mahasiswa dan rakyat. Dengan demikian gagallah rencananya untuk
terus menjadi Presiden sampai dengan 2003. Sementara itu 21/2 bulan lagi
adalah hari genapnya 33 tahun meletusnya G30S.

Ki Oetomo Darmadi (Swadesi, No 1541/Th XXX/Juli 1998) mengemukakan, “Sudah
33 tahun tragedi nasional, apa yang disebut G30S menjadi ganjalan sejarah.
Sudah seyogianya di era reformasi sekarang misteri tersebut disingkap secara
transparan, jujur terbuka”.

“Mengapa, ini penting sebagai pelajaran sejarah, betapa dahsyatnya
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Antara lain bangsa ini terbelah
menjadi dua: Orde Lama dan Orde Baru, dengan implikasi luas pada sektor
kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Terlebih-lebih
jika ditilik dari hak dasar azasi manusia (HAM) hampir seluruh Deklarasi HAM
PBB (10 Des 1948) dilanggar. Pancasila hanya dijadikan lips-service, dan
hampir semua hak warga sipil yang termaktub dalam batang tubuh UUD 45
dinodai. Terlalu banyak lembar catatan keganasan rezim Soeharto selama 32
tahun berkuasa, sehingga ada yang menjuluki ‘drakula’, pembunuh berdarah
dingin den sebagainya. Tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai
pelanggar HAM terberat, sebab korban penubunuhan massal peristiwa G.30-S/PKI
1965 saja melampaui korban Perang Dunia II.”

Sesungguhnya sudah lama dituntut supaya misteri G30S yang sesungguhnya
diungkap secara terbuka, jujur dan adil. Hanya saja tuntutan semacam itu di
masa Soeharto berkuasa suatu yang mustahil bisa dilaksanakan. Sebab dengan
membuka misterinya, akan terbuka lah bahwa G3OS yang sesungguhnya ialah
G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI. Mari kita telusuri!

HUBUNGAN SOEHARTO DENGAN G30S

Hubungan Soeharto, terutama dengan Kolonel Latief, seorang tokoh G3OS,
begitu akrab dan mesranya. Lepas dari persoalan apakah hubungan yang erat
itu karena Soeharto yang menjadi bagian atau pimpinan G30S yang tersembunyi,
atau karena kelihaian Soeharto memanfaatkan tokoh-tokoh G30S untuk mencapai
tujuannya menjadi orang pertama di Indonesia.

Hubungannya itu dapat diketahui, ketika pada 28 September 1965, Kolonel
Latief bersama isterinya berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto di jalan H.
Agus Salim. Menurut Kolonel Latief (Kolonel Latief: “Pembelaan sidang
Mahmilti II Jawa Bagian Barat” 1978) maksud kunjungannya ialah guna
menanyakan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau.

“Oleh beliau justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari sebelum saya
datang, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta, bernama
Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal AD yang akan
mengadakan coup d’etat terhadap kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno.
Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan”.

Seterusnya Kolonel Latief mengemukakan bahwa 30 September 1965 (malam), ia
berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Jenderal Soeharto, yang sedang menunggui
putranya yang tersiram sup panas. Sambil menjenguk putrandanya itu, juga
untuk melaporkan bahwa dini hari l Oktober l965 G30S akan melancarkan
operasinya guna menggagalkan rencana kudeta yang hendak dijalankan Dewan
Jenderal. Kunjungannya ke Jenderal Soeharto di RSPAD tersebut, adalah
merupakan hasil kesepakatan dengan Kolonel Untung dan Brigjen Supardjo.

Seperti diketahui menurut Brigjen Supardjo (Tempo, 1 Oktober 1988) tanggal
16 September 1965 telah terbentuk gerakan tsb, di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Untung. Kolonel Latief semula berkeberatan Letkol Untung menjadi
pimpinannya dan meminta supaya gerakan dipimpin seorang jenderal. Tetapi
karena Kamaruzzaman (Syam) memtahankan supaya tetap Untung, karena ia
pengawal presiden, maka akhirnya Letnan Kolonel Untung yang memimpinnya.

Kamaruzzaman ini menurut Wertheim (Wertheim: “Sejarah tahun 1965 yang
tersembunyi” dalam Suplemen Arah, No 1 th 1990) adalah “seorang double
agent”. Yang dimaksud “double agent” Wertheim ialah agennya Aidit (dalam
Biro Khusus) dan agen Soeharto (yang diuntungkan oleh Peristiwa G30S).

Sesungguhnya G30S tak akan bisa melancarkan operasi militernya dini hari
lOktober 1965 itu, sekiranya Jenderal Soeharto mencegahnya dan bukan
membiarkannya. Tampaknya karena Soeharto berkepentingan agar Men/Pangad A.
Yani terbunuh, maka dengan diam-diam direstuinya operasi militer G30S yang
hendak dilancarkan itu. Jika Soeharto tidak berkepentingan terbunuhnya
A.Yani, tentu rencana operasi G30S itu akan dicegahnya, atau langsung saja
Kolonel Latief ditangkapnya, atau rencana G30S itu dilaporkannya kepada
atasannya, misalnya kepada Jenderal Nasution. Dengan demikian operasi G30S
itu gagal.

Bagi Kolonel Latief dengan tidak ada pencegahan dari Jenderal Soeharto,
berarti Jenderal Soeharto merestuinya dan operasi G30S dini hari l Oktober
dilaksanakannya.

Soeharto merestui operasi G30S itu secara diam-diam, karena ia mengetahui
ada sebuah konsensus dalam TNI-AD bahwa bila Pangad berhalangan, otomatis
Panglima Kostrad yang menjadi penggantinya. Dan Panglima Kostrad ketika itu
adalah dirinya sendiri.

MALING BERTERIAK MALING

Paginya (pukul 6.30), dengan dalih ia mendapat informasi dari tetangganya,
Mashuri, bahwa Jendral A. Yani dan beberapa jenderal lain telah terbunuh,
Soeharto dengan Toyotanya, sendirian (tanpa pengawal) berangkat ke Kostrad.
Melalui Kebun Sirih, Merdeka Selatan. Soeharto sudah tahu benar siapa
sasaran G30S.

Sejalan dengan laporan yang disampaikan Kolonel Latief kepada Jenderal
Soeharto di RSPAD malam itu, maka daerah, dimana markas Kostrad terletak,
tidak diawasi atau dijaga pasukan G30S. Yang dijaga hanya daerah lain saja
di Merdeka Selatan. Ini menjadi indikasi adanya saling pengertian antara
G30S dengan Panglima Kostrad. Jika tidak ada saling pengertian, tentu daerah
di mana Markas Kostrad berada juga akan dijaga pasukan G30S.

Menurut Yoga Sugama (Yoga Sugama: “Memori Jenderal Yoga” [hal: 148-153])
pada pagi 1 Oktober 1965 itu, dirinyalah yang pertama tiba di Kostrad.
Kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang melancarkan gerakan
penculikan dini hari tersebut, adalah anasir-anasir PKI. Ali Murtopo tidak
begitu saja mau menerima keterangan Yoga Sugama tersebut.

Setelah ada siaran RRI pukul 7.20, yang mengatakan telah terbentuk Dewan
Revolusi yang diketuai Kolonel Untung, maka Yoga Sugama memperkuat
kesimpulannya di atas. Sebab Yoga Sugama kenal Untung sebagai salah seorang
perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah menjadi anak buahnya
ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera Barat.

Jenderal Soeharto juga bertanya kepada Yoga Sugama, “Apa kira-kira Presiden
Soekarno terlibat dalam gerakan ini.” Yoga Sugama dengan tegas menjawab
“Ya”. Tuduhan Yoga Sugama bahwa dibelakang gerakan itu adalah anasir-anasir
PKI dan Presiden Soekarno terlibat, tentu saja sangat membesarkan hati
Soeharto. Karena dengan demikian rencananya untuk menghancurkan PKI dan
menggulingkan Presiden Soekarno mendapat dukungan dari bawahannya.

Pada pukul jam 9.00 pagi itu Jenderal Soeharto (Tempo, 1 Oktober 1998)
memberikan briefing. Dengan tegas ia mengatakan: “Saya banyak mengenal
Untung sejak dulu. Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh
PKI Pak Alimin”. Ini tentu bualan Soeharto saja. Sebab Pak Alimin baru
kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1946. Bagaimana ia mendidik Untung
sejak tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih berada di daratan
Tiongkok.

Tidak lah kebetulan Kamaruzzaman mempertahankan Kolonel Untung menjadi
pimpinan G30S. Sudah diperhitungkannya, bahwa suatu ketika nama Untung tsb
akan dapat digunakan sebagai senjata oleh Soeharto untuk menghancurkan PKI.

Kamaruzzaman memang seorang misterius. Secara formal dia adalah orangnya
Aidit (dalam BC). Sedang sesungguhnya dia adalah di pihak lawannya Aidit,
dia bertugas menghancurkan PKI dari dalam.

Untuk itu lah maka Kamaruzzaman, seperti dikatakan Manai Sophian (Manai
Sophiaan (“Kehormatan bagi yang berhak”) membuat ketentuan bahwa persoalan
yang akan disampaikan kepada Aidit, harus melalui dirinya. Banyak hal yang
penting yang tak disampaikannya pada Aidit. Akibatnya setelah gerakan
dimulai terjadilah kesimpangsiuran, penyimpangan yang merugikan Aidit/PKI.

Sesuai dengan rencananya, maka Soeharto (G.30-S pemberontakan PKI”, Sekneg,
1994, hal 146, 47) pada 1 Oktober tersebut tanpa sepengetahuan, apalagi
seizin Presiden/Pangti Soekarno mengangkat dirinya menjadi pimpinan TNI-AD.
Padahal jabatan Panglima suatu angkatan, adalah jabatan politik. Itu
merupakan hak prerogatif Presiden untuk menentukan siapa orangnya.

Dikesampingkannya hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI tersebut, diakui
Soeharto dalam 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno yang harus disampaikan
oleh Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang berkunjung ke Kostrad 1 Oktober
1965 itu. Kedatangan Bambang Widjanarko adalah untuk memanggil Jenderal
Pranoto Reksosamudro yang telah diangkat menjadi caretaker Menpangad
sementara oleh Presiden, untuk datang ke Halim menemui Presiden Soekarno.

Usaha Bambang Widjanarko untuk meminta Jenderal Pranoto Reksosamudro ke
Halim itu dihalangi Soeharto. Empat petunjuk tersebut ialah:

1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro dan Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah tidak
dapat menghadap Presiden Soekarno untuk tidak menambah korban. (Ini berarti
Soeharto menuduh Presiden Soekarno lah yang bertanggungjawab atas penculikan
sejumlah jenderal dini hari 1 Oktober tersebut. Sesuai dengan jawaban Yoga
Sugama kepadanya tentang keterlibatan Presiden Soekarno dalam G30S. Karena
Ketua Dewan Revolusi adalah Kolonel Untung, pasukan pengawal Presiden
Soekarno)

2. Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper pimpinan TNI-AD
berdasarkan perintah Tetap Men/Pangad. (Ini berarti perintah tetap
Men/Pangad, maksudnya konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi dari hak
prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang harus memangku jabatan
panglima suatu angkatan).

3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya
disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto. (Ini berarti Mayien TNI Soeharto
yang mengatur Presiden Soekarno untuk berbuat ini atau itu, meski pun
dibungkus dengan kata-kata “diharapkan”. Semestinya Presiden yang mengatur
Mayjen Soeharto, bukan sebaliknya. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI).

4. Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang
Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari Pangkalan
Udara Halim Perdanakusumah, karena pasukan yang berada di bawah komando
Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G3OS yang berada di
Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah sebelum tengah malam 1 Oktober 1965.
(Ini berarti Soeharto “memerintahkan” Soekarno meninggalkan Pangkalan Udara
HPK, karena Halim akan diserbu. Padahal sebelumnya Presiden Soekarno telah
memerintahkan kepada Brigjen Supardjo supaya menghentikan operasi militer
G30S dan jangan bergerak tanpa perintahnya. Tampaknya perintah lisan
Presiden/Pangti Soekarno demikian, dianggap tidak berlaku bagi dirinya.
Malahan situasi itu digunakannya untuk “memukul” pasukan G30S.

Empat petunjuk Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno melalui Kolonel KKO
Bambang Widjanarko menunjukkan: dengan menggunakan G30S, Jenderal Soeharto
mulai l Oktober 1965 secara de facto menjadi penguasa di Indonesia. Sebagai
langkah awal untuk memegang kekuasaan de jure di Indonesia nantinya. Ya,
maling berteriak maling. Dirinya yang kudeta, PKI yang dituduhnya melakukan
pemberontakan.

PEMBANTAIAN MASSAL

Sesudah kekuasaan secara de facto berada di tangannya, hunting (perburuan)
terhadap anggota dan simpatisan PKI dilancarkannya sejadi-jadinya. Menurut
MR Siregar (MR Siregar: “Tragedi Manusia dan Kemanusiaan”, Amsterdam 1993,
hal: 214-217) betapa ganasnya perburuan untuk meruntuhkan moral orang-orang
komunis sehingga tak berani melakukan perlawanan. Istilah hunting
(perburuan) ini digunakan Sumitro dalam wawancaranya dengan BBC.

Sekadar ilustrasi dari hunting Sumitro dapat dikemukakan, di antaranya:

Di Jakarta: Sekawan progrom menjerang air dalam drum. Ketika air sudah
menggelegak, seorang yang mereka “amankan”, kalau tidak lupa dari IPPI,
dengan posisi kepala ke bawah dan kaki ke atas, dicelupkan ke dalamnya.
Adegan mengerikan dan memilukan yang tak dapat disaksikan mata manusia biasa
menggelitik pembunuh-pembunuh berdarah dingin itu.

Di Jawa Tengah: HJ Princen mengatakan dia yakin sekitar 800 orang telah
dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala, tapi bahwa jumlah tsb
mungkin lebih tinggi. Selain daripada itu pasukan di bawah pimpinan Sarwo
Edhie pergi dari desa ke desa, membawa pergi korban-korban mereka dengan
truk-truk untuk dibunuh. Banyak dari mereka diwajibkan menggali kuburannya
sendiri.

Di Jawa Timur: Banser, sayap militer dari ANSOR menjelajahi desa-desa.
Mengambil orang-orang komunis. Mereka membawa korban-korban mereka ke desa
berpenduduk padat dan membunuhnya. Beberapa diantaranya ditanam dalam
kuburan yang dangkal, yang digali sendiri oleh para korban, dan
jenazah-jenazah lain dilemparkan ke dalam sungai atau sumur-sumur. Tumpukan
mayat terhampar pada pesisir sungai, dan sejumlah sungai sampai tersumbat
oleh apungan mayat-mayat.

Di Kupang: Seorang pemimpin PKI dikeroyok kawanan progrom. Setelah lemah
dihajar, kedua belah tangannya diikat dengan seutas tali panjang. Ujung lain
dari tali itu diikatkan pada sebuah jeep tentara. Jeep ini kemudian meluncur
ketengah-tengah kota, menyeret sang korban yang terbanting-banting sepanjang
route yang dilalui. Sang korban memekik-mekik dan mengerang bukan
kepalang.Jalan-jalan yang dilalui berbelang ceceran darah sang korban. Muka
dan tubuhnya terkelupas.

Di Sulawesi Utara: Sejumlah tangkapan kader PKI dihajar habis-habisan.
Dengan tangan terikat dibawa berlayar ke lepas pantai. Sesampai di geladak,
setiap kaki mereka digantungi batu-batu besar. Kemudian jangkar diangkat dan
kapal pun segera melaju ke lepas pantai. Pesta pesiar maut ini dimulai
dengan membuang hidup-hidup para korban seorang demi seorang ke laut.

Menurut Sarwo Edhie (MIK: “50 tahun Merdeka & Problema Tapol/Napol”, 1995,
hal 59), seperti yang dikemukakannya kepada Permadi SH dan oleh Permadi SH
disampaikannya dalam Seminar Sehari 28 Januari 1995 di LBH Jakarta, bahwa
jumlah yang dibunuh dalam peristiwa G30S itu bukan 1,5 juta orang, melainkan
3 juta orang. Sebagian besar atas perintahnya.

Mengenai pembantaian terhadap massa anggota dan simpatisan PKI ini, menurut
Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, 1994, hal
311) korban penumpasan sangat besar. Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU ketika
diwawancarai oleh “Editor”, mengaku bahwa orang Islam membantai 500.000 eks
PKI. Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh orang-orang yang tidak masuk
orang Islam. Maka angka 1 juta, seperti yang diumumkan oleh Amnesti
Internasional, bisa dimengerti.

Sedang Dawam Rahardjo (Masalah Tapol & Napol dari Perspektif Konstitusi,
1994, hal 58-59) mengemukakan dalam Seminar di LBH bahwa dalam film “Riding
a Tiger” diceritakan mengenai keterangan seorang yang sangat lugu sekali,
bagaimana membunuh orang-orang PKI secara sangat teratur dan sopan, pokoknya
diatur dengan baik, sehingga tidak menimbulkan gejolak-gejolak dsb. Padahal
bagi orang lain, itu merupakan suatu pertunjukkan yang mengerikan sekali.
Demikian jugalah dengan bagaimana tahun 1965 telah terjadi pembunuhan bangsa
kita oleh bangsa kita sendiri, termasuk oleh orang Islam dimana bila
mengingat itu semua, timbul rasa ngeri bercampur malu, rasa berdosa yang
besar.

Dawam Rahardjo juga mengemukakan bahwa tapol mulia karena mereka adalah
orang-orang yang berpendirian. Sebenarnya pemrasaran takut mengatakan hal
ini, tapi kalau konsekuen kita sebenarnya harus menghargai orang-orang PKI
juga, sebab orang-orang PKI juga mempunyai cita-cita luhur. Mereka bukan
orang kriminal.

G30S BUKAN PEMBERONTAKAN PKI

Permadi SH (50 tahun Merdeka & Problema Tapol/Napol, 1995, hal 59) dalam
Seminar Sehari di YLBHI pada 28 Januari 1995 mengemukakan “Saya kesulitan
menjawab pertanyaan anak-anak muda sekarang. Kalau memang PKI itu berontak,
berontak terhadap siapa? Sebab pemerintah waktu itu yang dipimpin Bung Karno
menguntungkan posisi mereka. Kemudian berapa orang yang dibunuh PKI?

Benarkah PKI punya bedil dan membunuh orang-orang lain, kecuali yang 7
jenderal dan beberapa kolonel dan lain sebagainya dan itu pun masih
dipertanyakan: apakah PKI atau tentara sendiri yang membunuhnya.

Menurut Oei Tjoe Tat (Oei Tjoe Tat: “Memoar Oei Tjo Tat”, hal 171) yang
jelas Presiden Soekarno tidak merasa diberontaki PKI. Kalau G30S itu
pemberontakan PKI, berarti PKI berontak pada pemerintah Soekarno 1 Okt 1965.
Bila demikian, mengapa Nyoto (orang ketiga dalam PKI) tidak ditangkap
Soekarno ketika hadir dalam sidang Kabinet 6 Okt 1965? Malah ketika sidang
Kabinet 6 Oktober tsb, kebetulan saya berdekatan duduk dengan Nyoto, oleh
Bung Karno disilakannya untuk ngomong-ngomong.

Juga dalam pidato Presiden Soekarno (Dalam buku “Memenuhi Panggilan Tugas”,
jilid 7, hal 172-173) tanggal 21 Desember 1965 mengatakan: Gestok (Gerakan 1
Oktober -pen) harus kita hantam, tetapi komunisme tidak bisa, karena ajaran
komunis itu adalah hasil keadaan objektif dalam masyarakat Indonesia,
seperti halnya nasionalis dan agama. Nasakom telah kutulis sejak aku berumur
25 tahun dalam tahun 1926, dan ini akan kupegang teguh sampai aku masuk
liang kubur.

Menurut Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, hal
312) sesudah Brigjen Supardjo (dari G30S) melaporkan apa yang terjadi dini
hari 1 Oktober pada Presiden Soekarno di Halim, Presiden Soekarno
memerintahkan Brigjen Supardjo untuk menghentikan semua operasi militer
G30S. Perintah itu diberikan, pada saat G30S secara militer dalam posisi
memegang inisiatif. Ini terjadi di Halim 1 Okt 1965. Perintah lisan Presiden
Soekarno itu ditaati, operasi militer berhenti seketika. Senjata yang berada
di tangan para militer, yang berkekuatan dua batalyon, diperintahkan oleh
AURI supaya dikembalikan ke dalam gudang.

Seorang saksi mata yang berada di Halim 1 Okt 1965 itu mengatakan bahwa DN
Aidit yang juga berada di Halim ketika mendengar perintah supaya operasi
militer dihentikan, memberi reaksi marah.

Melapornya Brigjen Supardjo kepada Presiden Soekarno dan bukan kepada Aidit,
menjadi bukti yang hidup bahwa G3OS bukan pemberontakan PKI dan bukan PKI
yang menjadi dalagnya. Kalau PKI yang berontak atau menjadi dalangnya, tentu
Brigjen Supardjo melapornya kepada Aidit dan bukan kepada Presiden Soekarno.
Padahal Brigjen Supardjo dengan tidak memperdulikan bagaimana reaksi Aidit
terhadap perintah lisan Presiden Soekarno untuk menghentikan operasi
militer. Perintah itu ditaati sepenuhnya.

Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, hal: 151)
melalui bukunya juga mengatakan bahwa Sunardi SH pada tanggal 10 Des 1981
telah mengirim surat kepada 500 alamat pejabat tinggi, termasuk Presiden
Soeharto. Isinya menuduh Presiden Soeharto terlibat G30S. Sunardi SE
ditangkap dan diadili. Dinyatakan sebagai pengkhianat. Oleh Pengadilan
Negeri 7 Oktober 1982 dituntut hukuman 4 tahun 6 bulan, potong masa tahanan.

Di dalam pidato pembelaannya, Sunardi SH mengatakan bahwa coup d’etat G.30-S
1965 yang dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik, sesuai dengan
rencana lebih dulu, telah diatur dan diperhitungkan dengan cermat, yaitu
menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno sebagai pemegang pemerintahan yang
sah.

Jelasnya, menurut Sunardi SH bahwa G30S adalah kudeta Soeharto, bukan
pemberontakan PKI. Jika G30S pemberontakan PKI tentu Sunardi SH tidak akan
mengatakan G.30-S berhasil. Karena kenyataannya bersamaan dengan
tergulingnya Presiden Soekarno dari kekuasaannya, PKI pun turut hancur.

Sedang Oei Tjoe Tat (Memoar Oei Tjoe Tat, hal 170) mengatakan: menurut
pengamatan saya sejak 1 dan 2 Oktober 1965 kekuasaan de facto sudah terlepas
dari tangan Presiden Soekarno selaku penguasa RI. Memang padanya masih ada
corong mikrofon, tetapi inisiatif dan kontrol jalannya situasi sudah hilang.
Yang ada hanya tinggal sedikit kekuasaan atas piranti dan sarana untuk
mewujudkan kehendak politiknya. Dengan kata lain, pada 1 Oktober 1965
berakhirlah sesungguhnya rezim Soekarno.

Sementara itu Ny Dewi Soekarno (Vrij Nederland tanggal 16 April 1970)
melalui Surat terbuka yang ditujukannya kepada Jenderal Soeharto antara lain
mengatakan: Tuan telah meyakinkan orang banyak (memfitnah) dengan
melancarkan berita bahwa G.30-S dilakukan oleh PKI. Hal itu jelas tidak
benar. Bukankah yang melakukan gerakan itu orang-orang militer. Jelas bahwa
peristiwa G.30-S adalah akibat pertentangan yang ada di kalangan ABRI
sendiri.

Dalam pada itu Soeharto pada Minggu 23 Januari 1994 menerima rombongan
peserta pembekalan back to basic TNI AL di Tapos Bogor. Di tengah
perbincangan yang santai dan penuh keakraban sepanjang satu setengah jam
itulah Pak Harto, kata Tabloid Detik mengungkapkan: Saya menerima sebuah
buku berjudul “Prima Dosa”. Isinya menggugat pemerintahan sekarang dan
menggugat saya, bahwa yang menciptakan G30S itu saya. Mereka memutar balikan
fakta.

Sementara pengamat luar negeri tentang G30S ini menyimpulkan beberapa hal.
Peter Dale Scott, profesor ahli bahasa Inggeris dari University of
California, Berkeley, AS, menerbitkan tulisan yang berjudul: “The
UnitedStates and the Overthrow of Soekarno 1965-1967″ (AS dan penggulingan
Soekarno). Karyanya itu dimuat dalam Pacific Affairs pada tahun 1984, isinya
menguraikan peranan CIA dalam menggerakkan TNI-AD, terutama oleh SESKOAD. Ia
menyimpulkan: G30S kudeta yang dilakukan Soeharto.

Sedang ACA Dake, dalam bukunya setebal 480 halaman, yang berjudul “In Spirit
of the Red Banteng” yang diterbitkan pada 1974 di Den Haag, mengemukakan
bahwa ia berhasil mendapatkan copy dari pemeriksaan Kolonel Widjanarko yang
mengungkapkan bahwa Bung Karno telah memutuskan pengamanan para jendral yang
tidak loyal pada satu rapat rahasia di Bali dalam bulan Juni 1965 dan
merundingkan dengan Untung pada Agustus 1965. Pada 23 September 1965
Komandan Cakrabirawa JenderaL Sabur diperintahkan “untuk secepat mungkin
mengambil tindakan terhadap para jenderal yang tidak loyal.”

Wertheim dalam tulisannya yang berjudul “Soeharto and the Untung Coup the
Missing Link (1970)” menyimpulkan bahwa AD yang melakukan kudeta. Ia
meragukan keterlibatan komunis, karena di saat itu PKI sudah berada diambang
puncak kekuasaan. Jadi buat apa susah-susah lagi merebut kekuasaan.

Menurut Cornell Papers, persoalan G30S adalah persoalan intern AD. Jadi
bukan PKI yang mendalangi peristiwa itu. Namun pada saat-saat terakhir ada
usaha memancing supaya PKI terlibat. Kalau toh PKI terlibat, keterlibatannya
hanya insidentil.

Dan menarik apa yang dikatakan Leo Suryadinata (Golkar dan Militer, hal
19-20) bahwa “jika PKI menjadi dalang kudeta, ia adalah dalang yang sama
sekali tidak siap”. Artinya, PKI memang tidak menyiapkan G30S.

KESIMPULAN

Sudah tiba waktunya untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah
sebagai salah. Sejarah G30S yang selama 32 tahun ini diputarbalikkan oleh
kekuasaan Soeharto, harus ditempatkan pada tempat yang sebenarnya. Yaitu
G30S adalah G30S/Soeharto dan bukan G30S/PKI.

Menurut AM Hanafi (AM Hanafi Menggugat, 1998, hal 262) bahwa “G30S
menggunakan Soekarno dan Soeharto menggunakan G30S”. Jadi, “G30S/Soeharto”.